MITOLOGI GARUDA
MAKALAH
MITOLOGI GARUDA
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah
yang amat berkat dan maha tinggi, sholawat dan salam tujukan kepada Nabi-Nabi,
Rasul-Rasul khusunya kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga,
sahabat-sahabat, pengikut-pengikut seterusnya kepada siapa saja yang menyerukan
ajaran-ajaran-Nya sampai hari kiamat nanti.
Kami selaku penyusun makalah ini sangat menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu kami harapkan saran dan kritik kepada pembaca demi terwujudnya kesempurnaan makalah ini.
Wahai Tuhan kami, kepada Engkaulah kami berserah diri dan meminta pertolongan dan kepada Engkau juga penyudahan.
Sindangkerta,
November
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Sejarah Patung Garuda
Taman Budaya Garuda Wisnu
Kencana (Garuda Wisnu Kencana Cultural Park), disingkat GWK, adalah
sebuah taman wisata di bagian selatan pulau Bali. Taman wisata ini
terletak di tanjung
Nusa Dua, Kabupaten Badung, kira-kira 40 kilometer di
sebelah selatan Denpasar,
ibu kota
provinsi Bali. Di areal taman budaya ini, direncanakan akan didirikan sebuah landmark
atau maskot Bali, yakni patung berukuran raksasa Dewa Wisnu yang
sedang menunggangi tunggangannya, Garuda, setinggi 12 meter.
Area Taman Budaya Garuda Wisnu
Kencana berada di ketinggian 146 meter di atas permukaan tanah atau 263 meter
di atas permukaan laut. Patung ini nantinya setelah selesai akan menjadi patung
terbesar dunia dengan tinggi 75 meter dan lebar 60 meter dan akan
mengalahkan patung liberty. GWK ini merupakan mahakarya dari seniman Bali I Nyoman Nuarta yang
berada di daerah Bali Selatan tepatnya di bukit Unggasan. Area Taman Budaya
Garuda Wisnu Kencana berada di ketinggian 146 meter di atas permukaan tanah
atau 263 meter di atas permukaan laut.
i kawasan itu terdapat juga
Patung Garuda yang tepat di belakang Plaza Wisnu adalah Garuda Plaza di mana
patung setinggi 18 meter Garuda ditempatkan sementara. Pada saat ini, Garuda
Plaza menjadi titik fokus dari sebuah lorong besar pilar berukir batu kapur
yang mencakup lebih dari 4000 meter persegi luas ruang terbuka yaitu Lotus
Pond. Pilar-pilar batu kapur kolosal dan monumental patung Lotus Pond
Garuda membuat ruang yang sangat eksotis. Dengan kapasitas ruangan yang mampu
menampung hingga 7000 orang, Lotus Pond telah mendapatkan reputasi
yang baik sebagai tempat sempurna untuk mengadakan acara besar dan
internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mitologi
tentang Garuda
Pilihan burung Garuda sebagai lambang Negara adalah
penemuan yang cemerlang karena sudah sejak dahulu kala menghiasi kebudayaan
bangsa Indonesia. Burung Garuda telah menghiasi ceritra –ceritra rakyat di
berbagai daerah, juga dipergunakan dalam berbagai karya sastra. Bahkan burung
Garuda pernah dijadikan lambang kerajaan beberapa abad silam. Dalam PP
No.44/1958 tentang Panji dan Lambang Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara secara tegas menyatakan bahwa burung Garuda adalah burung mithos yang
bersifat kedewaan. Sebenarnya ceritra tentang Garuda sudah ada dalam ceritra
Mahabrata.
1. Mitologi
Garuda dalam Mahabharata
Garuda sudah termuat dalam kitab tua Mahabrata, yaitu
ditulis ulang pada masa pemerintahan Dharmawangsa (991-1007) dari kerajaan
Mataram. Kisah Garuda terdapat pada kitab pertama yang bernama Adiparwa.
Tersebutlah seorang raja sakti bernama Bhagawan
Kasyapa, mempunyai dua orang istri yang bernama Kadru yang meminta 100 anak dan
Winata yang meminta 2 anak. Kemudian Kadru diberi telur 100 dan Winata 2.
Setelah beberapa lama telur Kadru menetas dan lahir berupa naga, seperti Naga Basuki,
Anantabhoga, Tatsaka, dll. Lain halnya dengan Winata telurnya tidak menetas,
sehingga diambil satu kemudian dipukul. Didalamnya ternyata ada seorang anak
yang diberi nama Aruna, tetapi tak lama kemudian ia mati. Anak itu mengutuk
ibinya, bahwa ibunya akan menjadi budak Kadru dan akan dibebaskan oleh adiknya,
Garuda.
Pada suatu hari, Kadru dan Winata bertaruh tentang
warna ekor dari seekor kuda putih. Menurut Kadru,warna ekor kuda itu hitam,
sedangkan menurut Winata, putih. Ternyata warna ekor kuda itu memang putih,
sehingga Kadru menyuruh anaknya untuk menyembur ekor kuda itu menjadi hitam.
Akhirnya Winata kalah dan menjadi budak Kadru. Sementara itu Garuda lahir, dan
ia langsung mencari ibunya. Atas petunjuk Dewa, ia sampai di tempat ibunya.
Akan tetapi naga-naga yang menjaga ibunya meminta tebusan “Air Amerta yang
disimpan di Pulau Sangkha Dwipa” untuk bisa membebaskannya. Kemudian ibunya
berpesan : pergilah engkau ke sebuah pulau di tanah kusa, tempat orang-orang
jahat (Nasadha), makanlah mereka sebagai bekalmu”.
Setelah itu, ia langsung menuju ke pulau di tanah
kusa. Garuda sangat kesulitan untuk mengambil Air Amerta tersebut karena dijaga
ketat. Namun dengan ketangkasannya, akhirnya ia berhasil mengambil kendi
kamandalu yang berisi Air Amerta. Dan kendi tersebut langsung diserahkan kepada
naga-naga tersebut. Akan tetapi Garuda sempat berpesan kepada para naga agar
mereka mandi dulu sebelum minum Air Amerta. Mereka pun cepat-cepat masuk
kedalam air sehingga mereka lupa menjaga kendi. Setelah kembali, ternyata kendi
itu sudah tidak ada lagi. Yang tertinggal hanya beberapa helai daun lalang
bekas pengikat kendi. Saking kesalnya, daun lalang tersebut mereka jilati
sehingga lidah mereka tersayat. Konon itulah sebabnya, lidah ular bercabang
dua.
Pada perjalanannya pulang, Garuda bersua dengan Batara
Wisnu yang memintanya untuk menjadi kendaraan dan lambang pada benderanya.
Garuda pun langsung menerimanya. Sejak itulah Garuda menjadi kendaraan Batara
Wisnu dan lambang pada benderanya.
2. Mitologi
Garuda dalam Ceritra Dewi Sri
Di sebuah negeri, Purwacarita, ada seorang raja
bernama Prabu Sri Mahapunggung. Ia mempunyai dua orang anak yang bernama Dewi
Sri dan Raden Sadana. Mereka adalah cucu dari Batara Wisnu. Batara Wisnu
memelihara seekor Garuda yang di beri nama Garuda Winanteya. Setelah anaknya
menginjak dewasa, raja ingin mengawinkan Raden Sadana dengan Dewi Panitra.
Tetapi putranya menolak dengan tegas. Akibatnya Raden Sadana diam-diam lari
dari istana, hal ini mengejutkan rakyat Purwacarita. Dewi Sri memutuskan untuk
menyusul adiknya.
Saat bersamaan, datang utusan Raja Raksasa Ditya
Pulaswa dari negeri Medangkumuwung hendak meminang Dewi Sri untuk dijodohkan
dengan rajanya. Raja Mahapunngung mengatakan sebenarnya, dan bila dapat menemukan
anaknya ia bersedia menjodohkannya. Utusan Ditya Kaladru merasa yakin dapat
menemukan Dewi Sri. Dalam perjalanan menuju Desa Tulyam, Dewi Sri menjumpai
sesosok mayat yang dikira adiknya sehingga ia pingsan. Ternyata mayat itu
adalah Buyut Wedana, adik Buyut Bawada. Mereka kemudian menuju desa
Medangwangi. Disana mereka diserang oleh rombongan Ditya Kaladru, namun Dewi
Sri dapat menyelamatkan diri bersama Ken Patani ke desa Medangwantu. Di desa
ini terjadi perang antara pengikut Ditya Kaladru dengan Buyut Wengkeng.
Rombongan Kalandaru ditolong oleh burung Wilmuka.
Burung Wilmuka menyarankan agar rombongan Kalandaru kembali ke Medangkumuwung
menghadap raja, dan pencarian Dewi Sri dilanjutkan oleh burung Wilmuka.
Akhirnya Dewi Sri ditemukan. Dia disambar dan dibawa terbang. Dewi Sri menangis
meminta pertolongan, dan didengar oleh Garuda Winanteya. Dilihatnya seekor
burung raksasa yang membawa Dewi Sri. Dengan paruhnya yang kuat, burung raksasa
itu dipatuk sehingga Dewi Sri terlepas jatuh ke tanah sehingga badannya hancur.
Namun, atas kehendak Sang Hyang Narada, jasad Dewi Sri disiram dengan tirta
amerta sehingga pulih kembali. Dewi Sri mengucapkan terimakasih kepada Garuda
Winanteya dan atas kehendak Sang Hyang Narada, Dewi Sri dipertemukan dengan
adiknya. Atas jasanya tersebut, Dewi Sri memberi hadiah berupa anting-anting
sedangkan adiknya memberi hadiah berupa jambang, dan ketika dipakai, Garuda
Winanteya tampak gagah sekali. Dewi Sri akhirnya menjadi lambang Dewi Pangan
yang menyebarkan rejeki kepada setiap umat manusia, sedangkan Raden Sedana
menjadi Sang Hyang Sedana yang menyebarkan kebahagiaan.
3. Mitologi
Garuda dalam Kaba Rambun Pamenan
Di sebuah negeri bernama Kampungdalam, memerintah
seorang bangsawan bergelar Datuk Tumanngung. Istrinya bernama Puti Lindung
Bulan yang sangat cantik. Raja mempunyai dua orang anak yaitu Reno Pinang dan
Rambun Pameran. Suatu hari Datuk Tumanggung sakit yang akhirnya meninggal.
Rakyat merasa sangat sedih akan hal tersebut. Berita kematian Datuk Tumanggung
sampai ke raja ganas yang bernama Hangek Garang dari negeri Cerminterus. Raja
Hangek Garang ingin mengawini Puti Lindung Bulan. Disipakannya pasukan untuk
menjemput Puti Lindung Bulan. Puti Lindung Bulan sangat terkejut sehingga
tubuhnya gemetar dan terpaksa menurutiperintah raja kejam itu. Setiba di
Cerminterus, Puti Lindung Bulan ditempatkan di dalam istana yang indah. Bila
malam tiba, datanglah Hangek Garang merayunya, namun Puti Lindung Bulan tetap
meolaknya sehingga raja marah dan membawa putri itu ke penjara dekat kandang
babi. Puti Lindung Bulah hidup sangat menderita di penjara. Suatu hari ia
menulis surat kepada kedua anaknya.surat itu digulung kecil dan di dalamnya
diselipkan cincin, lalu dilempar keluar dan surat itu diantarkan oleh seekor
Elang Bangkeh kepada anak Puti Lindung Bulan ke Kampungdalam.
Suatu hari Raden Pamenan ingin memukat di Puncak
Gunung Lenggo. Karena merasa lelah dan lapar, ia duduk bersandar di bawah pohon
beringin. Terdengar suara elang, yang merupakan Elang Bangkeh yang membawa
surat. Surat itu dijatuhkan kepada Pamenan yang merupakan surat dari ibunya,
yang menyampaikan bahwa ibunya menderita di penjara. Ia bertekad untuk mencari
ibunya. Karena perjalanan jauh, ia menjadi lemah dan lapar. Kakanya mengutus
Balam Timbago untuk mencari adiknya dan membawakan makanan serta obat sehingga
Pamenan bisa sehat kembali. Dalam perjalanan, ia menemukan sebuah gubuk tua
yang dihuni seorang kakek. Disana Pamenan tinggal beberapa hari. Kakek itu
memberinya tongkat yang dapat membunuh apa saja yang menyakiti. Dalam
perjalanan, ia membunuh seekor naga dengan tongkat tersebut yang ingin memangsa
seekor anak garuda. Induk garuda berterima kasih dan bersedia mengantarkan
Pamenan ke negeri Cerminterus. Garuda memberikan dua helai bulu kepada Pamenan
yang dapat dibakar apabila Pamenan membutuhkan pertolongan. Akhirnya, sesampai
di Cerminterus, Pamenan membunuh hangek garang dengan tongkat pemberian sang
kakek tua. Dengan kematian Hangek Garang, raja sangat gembira dan Puti Lindung
Bulan dibebaskan. Mereka diantar pulang oleh garuda ke Kampungdalam dan mereka
dapat hidup bahagia.
B.
Asal-Usul
Garuda
Garuda dalam khasanah sejarah Nusantara muncul dalam
berbagai mitologi yang diajarkan dalam agama Hindu. Garuda merupakan burung
gagah perkasa yang diyakini sebagai tunggangan Dewa Wisnu. Pada masa
pemerintahan Raja Airlangga di Kahuripan, untuk mengokohkan kedudukan
politiknya, Airlangga dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu. Kemudian
digambarkanlah Airlangga sebagai titisan Wisnu yang sedang mengendarai Garuda.
Garuda Wisnu Kencana, simbolisasi itulah yang dipergunakan sebagai simbol
Kerajaan Kahuripan. Lalu bagaimana asal-usul Garuda dalam kisah mitologi agama
Hindu?
Alkisah di negeri dongeng, tersebutlah seorang guru
nan bijaksana bernama Resi Kasyapa. Resi ini memiliki dua orang istri
yang bernama Kadru dan Winata. Masing-masing dikaruniai anak-anak berupa Naga
dan Garuda. Meskipun sang resi sangat bijaksana dan bersikap adil terhadap
kedua istrinya, namun Kadru senantiasa merasa cemburu terhadap Winata. Maka
dalam setiap kesempatan ia senantiasa ingin menyingkirkan Winata dari perhatian
dan lingkaran keluarga. Segala tabiat dan niat jahat seringkali dijalankan
untuk menjauhkan Winata dari suami mereka.
Pada suatu ketika, para dewa mengaduk samudra purba
dengan air suci amertha sari, air suci yang membawa keabadian bagi siapapun
makhluk yang meminumnya. Bersamaan dengan peristiwa itu muncullah kuda yang
bernama Ucaihsrawa. Didorong oleh rasa kecemburuan yang telah menahun, Kadru
menantang Winata untuk bertaruh mengenai warna kuda Ucaihsrawa. Barang siapa
yang kalah dalam pertaruhan tersebut, maka ia harus menjadi budak seumur hidup
yang harus taat dan patuh terhadap apapun kehendak dan perintah sang pemenang.
Dalam taruhan, Kadru bertaruh Ucaihsrawa berwarna hitam. Sedangkan Winata
memilih warna putih.
Para Naga tahu bahwa kuda Ucaihsrawa sebenarnyalah
berwarna putih. Mereka kemudian melaporkan hal tersebut kepada Kadru, ibunda
mereka. Atas pelaporan para Naga, putranya, Kadru secara licik memerintahkan
para Naga untuk menyemburkan bisa mereka ke tubuh kuda putih agar nampak
seperti kuda hitam. Pada saat Ucaihsrawa tiba di hadapan Kadru dan Winata,
nampaklah kuda yang dipertaruhkan berwarna hitam, bukan putih sebagaimana
aslinya. Singkat cerita, Winata harus menjadi budak dan melayani segala
perintah Kadru seumur hidupnya yang tersisa.
Sebagai anak yang sangat berbakti kepada ibundanya,
Garuda merasa sangat marah atas kelicikan para Naga yang telah membuat
kebohongan besar atas diri Winata. Dengan kemarahan meluap, diseranglah para
Naga. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat di atas langit, antara Garuda
dan para Naga. Dikarenakan kekuatan dan kesaktian diantara kedua kubu sama dan
seimbang, maka perang itupun berlangsung sepanjang saat sebagai simbol
keabadian pertempuran antara nilai kebaikan dan kebatilan.
Karena pertempuran berlangsung sekian lama panjangnya,
para Naga bersedia memberikan pengampunan atas perbudakan terhadap Winata
asalkan Garuda mampu memberikan tirta suci amertha sari yang dapat memberikan
keabadian hidup mereka dan ibunya. Akhirnya sang Garuda menyanggupi apapun yang
harus ia lakukan asalkan ia dapat membebaskan ibundanya.
Dalam pengembaraan pencarian tirta suci amertha sari,
Garuda berjumpa dengan Dewa Wisnu. Ketika dimintakan air suci tersebut,
Wisnu mempersyaratkan akan memberikan air tersebut, asalkan sang Garuda
menyanggupi diri untuk menjadi tunggangan bagi Dewa Wisnu. Garuda selanjutnya
mendapatkan tirta suci amertha sari yang ditempatkannya dalam wadah kamandalu
bertali rumput ilalang.
Dengan air suci mertha sari, para Naga berniat mandi
untuk segera mendapatkan keabadian hidup. Bersamaan dengan itu, Dewa Indra yang
kebetulan melintas mengambil alih air suci. Dari wadah Kamandalu, tersisalah
percikan air pada sisa tali ilalang. Tanpa berpikir panjang, percikan air pada
ilalang tersebut dijilati oleh para Naga. Tali ilalang sangatlah tajam bagaikan
sebuah mata pisau. Tatkala menjilati ilalang tersebut, terbelahlah lidah para
Naga menjadi dua bagian. Inilah asal-usul kenapa seluruh keluarga besar Naga
dan semua keturunannya memiliki lidah bercabang.
Kegigihan Garuda dalam membebaskan ibunda tercintanya
dari belenggu perbudakan yang tidak mengenal rasa peri kemanusiaan inilah yang
kemudian oleh para founding fathers kita diadopsi secara
filosofis dan disimbolisasikan dalam lambang negara kita. Garuda bermakna
sebagai simbol pembebasan ibu pertiwi dari belenggu perbudakan dan penjajahan.
Dengan lambang Garuda yang gagah perkasa, para pendahulu berharap Indonesia
akan menjadi bangsa besar yang bebas dalam menentukan nasib dan masa depannya
sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atung Garuda Wisnu Kencana berlokasi
di Bukit Unggasan - Jimbaran, Bali. Patung ini berdiri menjulang di
dalam kompleks Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana dan merupakan
karya pematung terkenal Bali, I Nyoman Nuarta. Monumen
ini dikembangkan sebagai taman budaya dan menjadi ikon bagi pariwisata Bali dan
Indonesia.
Patung tersebut berwujud Dewa Wisnu yang dalam
agama Hindu adalah Dewa
Pemelihara (Sthiti), mengendarai burung Garuda. Tokoh
Garuda dapat dilihat di kisah Garuda & Kerajaannya yang berkisah
mengenai rasa bakti dan pengorbanan burung Garuda untuk menyelamatkan ibunya
dari perbudakan yang akhirnya dilindungi oleh Dewa Wisnu.
Patung ini diproyeksikan untuk mengikat tata ruang
dengan jarak pandang sampai dengan 20 km sehingga dapat terlihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot. Patung
Garuda Wisnu Kencana ini merupakan simbol dari misi penyelamatan lingkungan dan
dunia. Patung ini terbuat dari campuran tembaga dan baja seberat 4.000 ton,
dengan tinggi 75 meter dan lebar 60 meter. Jika pembangunannya selesai, patung
ini akan menjadi patung terbesar di dunia dan mengalahkan Patung Liberty.
DAFTAR ISI
https://sangnanang.wordpress.com/2013/09/13/asal-usul-sang-garuda/comment-page-1/
Komentar
Posting Komentar